Spiritualitas dan Religiusitas
Untuk lebih mudah memahami tentang spiritualitas, perlu juga diuraikan tentang hubungannya dengan religiusitas. Ini penting, karena belakangan ini berkembang paham yang menganggap spiritualitas lebih penting dari pada agama. Pandangan ini berkembang sejak John Naisbitt dan Aburdence, dua futurolog kenamaan mengeluarkan semboyan yang berbunyi: “Spirituality, Yes, Organized Religion, NO”.
Menurut estimasi Naisbitt dan Aburdence, masyarakat di masa depan akan mengabaikan agama dan lebih mendalami spiritualitas. Karena itu, perbedaan keduanya akan semakin tajam, meskipun spiritualitas dan religiusitas sama-sama berkaitan dengan kebutuhan paling mendasar.
Menurut kedua futurolog tersebut, indikasi menariknya spiritualitas di kalangan masyarakat Amerika lebih tinggi dari masa-masa sebelumnya. Sebagian mereka percaya bahwa, “Tuhan adalah kekuatan spiritual yang positif dan aktif”, meskipun gejala itu disertai dengan menurunnya peran agama-agama formal.
Kalangan muda terpelajar di sekolah-sekolah tinggi pertama bersikap sangat kritis terhadap agama-agama formal. Mereka menilai bahwa gereja dan sinagog sibuk dengan masalah-masalah keorganisasian, dan mengesampingkan isu-isu teologis dan spiritual. Karena itu Naisbitt dan Aburdence berpendapat, mereka kaum muda itu bukan manusia beragama (religius) melainkan berkerohanian (spiritual).
Agama memang tidak mudah didefinisikan secara tepat, karena agama mengambil bentuk bermacam-macam di antara suku-suku dan bangsa-bangsa di dunia ini. Secara etimologi, religion (agama) berasal dari bahasa latin “religio” yang berarti suatu hubungan antara manusia dengan Tuhan. Istilah latin ini merupakan transformasi dari kata “religare”, yang berarti menyatukan.
Berbeda dengan agama, spiritualitas lebih banyak melihat aspek dalam lubuk hati, riak getaran hati nurani pribadi, sikap personal yang bagi banyak orang lain merupakan misteri karena intimitas jiwa. Dalam hal ini, spiritualitas mencakup citra rasa totalitas kedalaman pribadi manusia (Desmita, 2012:266). Untuk memahami istilah spiritualitas dan religiusitas, seorang ahli psikologi dari Universitas Indonesia Aliah B. Purwakania (Desmita 201:267) memberi kutipan penjelasan: Istilah spiritual dan religius sering kali dianggap sama, namun banyak pakar yang menyatakan keberatannya jika kedua istilah ini dipergunakan saling silang. Spiritualitas kehidupan adalah inti keberadaan dari kehidupan. Spiritualitas adalah kesadaran tentang diri, dan kesadaran individu tentang asal, tujuan, dan nasib.
Agama adalah kebenaran mutlak dari kehidupan yang memiliki manifestasi fisik di atas dunia. Agama merupakan serangkaian praktik perilaku tertentu yang dihubungkan dengan kepercayaan yang dinyatakan oleh institusi tertentu dan dianut oleh anggota-anggotanya.
Agama memiliki kesaksian iman, komunitas dan kode etik. Dengan kata lain, spiritualitas memberi jawaban siapa dan apa seseorang itu (keberadaan dan kesadaran), sedangkan agama memberikan jawaban apa yang harus dikerjakan seseorang (perilaku atau tindakan). Seseorang bisa saja mengikuti agama tertentu, namun tetap memiliki spiritualitas.
Orang-orang juga dapat menganut agama yang sama, namun belum tentu memiliki jalan atau tingkat spiritualitas yang sama. Perbedaan juga harus dibuat antara spiritualitas yang berbeda dengan agama dan spiritualitas dalam agama.
Meskipun keduanya (agama dan spiritualitas) terlanjur dipisahkan, namun untuk pemenuhan makna hidup manusia yang sejati, nampaknya harus ada upaya pemaduan antara spiritualitas dan agama. Achir Yani S. Hamid dalam Desmita (2012:267) menyebutkan bahwa agama merupakan salah satu dimensi dari spiritualitas di samping dimensi eksistensial. Dimensi eksistensial dari spiritualitas berfokus pada tujuan dan makna hidup, sedangkan dimensi agama dari spiritualitas berfokus pada hubungan seseorang dengan Tuhan Yang Maha Pengasih.
Singkatnya, agama bisa dikatakan tidak sama dengan spiritualitas, tetapi keduanya tidak bisa dipisahkan. Bagaimanapun agama tanpa spiritualitas adalah kering, dan spiritualitas tanpa agama adalah lumpuh.
: Desmita, 2012. Psikologi Perkembangan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar