Thomson & CO.
Thomson & Co., adalah salah satu firma hukum berkelas dan bergengsi di kota London. Firma hukum yang dibangun dan dibesarkan oleh generasi Thomson – sekeluarga. Berbeda dengan firma hukum kebanyakan, Thomson & CO., hanya memiliki enam orang associate saja. Thomson & CO., baru akan merekrut anggota kembali jika salah satu dari keenam anggota tersebut berhenti bekerja, dengan alasan seperti meninggal, mengundurkan diri, atau terpaksa berhenti. Bayangkan saja, betapa sulitnya untuk bisa menduduki salah satu kursi di firma keluarga Thomson tersebut.
Thomson & CO., begitu selektif dan tidak main-main dalam merekrut anggota untuk bergabung, karena mereka menyadari tugas firma hukum sangatlah penting, dan harus diisi oleh manusia yang benar-benar jujur dan bertanggung jawab, mengingat tugas mereka tidaklah sederhana.
Yaps, cerita dalam novel ini menyangkut perihal hukum, hanya soalan mencari pewaris harta warisan wanita tua. Tapi bang Tere tetap memberi pengenalan mengenai kasus-kasus hukum, segala hal yang menyangkut dengan hukum di negara London, Inggris. Aku tidak terlalu paham dengan hal ini, namun beruntungnya bang Tere selalu berhasil mengemas kata yang rumit dipahami, mejadi bahasa yang mudah dimengerti oleh orang awam sepertiku.
Dua tahun lalu, Thomson & CO., baru saja kehilangan salah satu anggotanya. Beruntung seorang lelaki muda lulusan fakultas hukum di Oxford University berhasil menjadi associate baru mereka. Lelaki tersebut berkebangsaan Indonesia yang telah tinggal di kota London sejak enam tahun yang lalu. Zaman Zulkarnaen namanya, lelaki asal Bandung, Indonesia.
Zaman sendiri tidak pernah mengerti mengapa firma hukum tersebut memanggilnya untuk bekerja di firma hukum mereka, padahal ia sama sekali tak pernah mengirimkan lamaran kesana dan Zaman juga tidak mengenal baik firma hukum tersebut, apalagi firma hukum tersebut bukanlah targetnya selama ini.
“Tapi aku tidak mengenali firma hukum ini, Prof”.
“Tentu saja tidak”. Profesor terkekeh di seberang telepon. “Mereka adalah legenda hidup yang jarang diketahui. Mereka tidak semegah Latham & Watkins, atau seglamor Baker & McKenzie, penguasa firma hukum dunia. Tapi nama Thomson & CO., selalu disebut dengan penuh kehormatan. Laksana manuskrip kuno dari belantara hukum yang kadangkala kejam. Kantor mereka seperti kuil suci, pengacara mereka adalah kesatrianya. Aku tidak ingat kapan terakhir kali lulusan Oxford pernah bergabung di sana, ini kesempatan baik bagimu, Zaman. Berangkatlah ke Belgrave Square.”
Hari itu, Zaman adalah orang ke dua-belas yang diwawancara oleh pihak Thomson & CO., tanpa basa-basi Eric salah satu lawyer senior langsung mewawancarainya dengan satu dari empat pertanyaan sebagai berikut, “Jika berkata jujur membuat empat orang jahat terbunuh mengenaskan, sedangkan berbohong membuatnya selamat, apa yang akan anda lakukan?”. Setengah jam berlalu, lawyer senior menutup wawancara, dan hasilnya akan dibertahukan beberapa hari kemudian.
Dan hari ini, Sir Thomson kembali memanggilnya setelah ia resmi menjadi associate di firma hukum Thomson & CO., ada kasus penting yang harus di tangani dan menanti penyelesaian. Itu mengapa Sir Thomson meneleponnya dan memerintahkan Zaman datang ke kantornya di pagi hari dengan segera.
“Kita dalam siatuasi khusus, Nak. Firma ini membutuhkan keahlian lawyer terbaiknya.”
Situasi khusus? Apa yang terjadi?
“Kamu sudah bisa menebaknya, kabar duka. Salah satu klien besar firma hukum telah meninggal enam jam yang lalu di Paris – sejujurnya aku baru tahu betapa besarnya klien ini. Eric menerima informasi itu sembilan puluh menit yang lalu, memeriksa satu–dua hal, menemukan fakta yang mencengangkan, lantas bergegas memberitahuku. Sesuai prosedur firma, kita akan menangani warisan klien tersebut. Melakukan sattlement.”
“Kamu bisa menebak berapa nilai warisannya?”
Zaman menggeleng, dia tidak punya ide sama sekali.
“Dengan harga saham penutupan kemarin sore, nilainya satu miliar poundsterling, Zulkarnaen.”
Zaman terdiam, apa dia salah mendengarnya?
“Kamu tidak salah mendengarnya, Zulkarnaen. Klien ini mewarisi harta kepemilikan saham senilai satu miliar poundsterling. Dalam mata uang asal negaramu itu setara dengan 19 triliun rupiah, bukan? Dengan kekayaan sebesar itu, dia lebih kaya ketimbang Ratu Inggris dan keluarganya. Namanya bisa masuk kedalam 100 orang terkaya di kerajaan Inggris.”
“Kamu tahu tempat tinggal klien ini terakhir kali?”
Zaman menggeleng. Salah satu properti paling mahal di Eropa? Kastil mewah?
“Alamat surat-menyurat terakhir kali klien tersebut adalah panti jompo di Paris. Juga telepon pemberitahuan yang diterima Eric tadi pagi berasal dari alamat panti tersebut. Astaga! Seorang petugas panti yang menelepon.” Sir Thomson berseru. “Seseorang dengan harta senilai satu miliar poundsterling menghabiskan masa tuanya di panti jompo? Kamu pernah menemukan kasus sperti ini, Eric?”
“Seperti ku bilang Sir Thomson, boleh jadi dia orang kaya yang paling eksentrik.” Eric memberi pendapat.
“Apakan dia memiliki ahli waris?” Zaman bertanya – kalimat pertama.
“Nah, itu yang membuat kasus ini menarik, Zulkarnaen. Firma hukum kita hanya menyimpan surat keterangan jika wanita tua ini adalah pemilik sah 1% surat saham di perusahaan besar. Surat keterangan itu dititip kan langsung oleh pihak ketiga melalui pos. Crazy, hanya dikirim lewat pos. Surat itu menjelaskan, jika terjadi sesuatu dengan nama yang tertulis di sana, akan ada telepon yang menghubungi firma kita, dan atas situasi tersebut, Thomson & CO., diberikan mandat untuk menyelesaikan harta warisan wanita tua ini seadil-adilnya seseuai hukum yang berlaku.”
“Itu berarti tidak ada surat wasiatnya?”
“Tidak ada.” Eric kali ini yang menjawab.
Zaman berkata pelan, “Jika klien ini tidak memiliki pewaris yang sah, kita bisa berdebat panjang dengan hakim pengadilan untuk menyelesaikan kasusnya. Belum lagi hanya ada surat keterangan itu, posisi kita tidak terlalu kuat jika firma hukum lain datang dengan ahli waris sah.”
“Tepat sekali.” Sir Thomson mengangguk. “Tapi biarlah itu kita cemaskan nanti, sekarang kita harus memastikan kasus ini ditangani secepat mungkin. Surat keterangan itu, bersama beberapa dokumen dan informasi klien ini akan diserahkan kepadamu.”
Zaman menelan ludah. Diserahkan kepadaku? Zaman hendak protes keberatan.
Sir Thomson menunjuk salah satu bangku kursi, “kursi itu kosong dua tahun terakhir. Jika kamu berhasil menangani kasus ini dengan baik, kursi itu akan menjadi milikmu, Zulkarnaen.”
Zaman menelan ludah.
“Eric, aku tidak bisa berlama-lama, aku harus terbang ke Florence, cucuku ulang tahun hari ini, dia memaksaku hadir di acaranya. Pastikan setiap ada kemajuan penting aku mendapat kabar.”
Eric mengangguk.
Zaman menghela napas panjang – setelah punggung Sir Thomson hilang di balik pintu, lalu meraih selembar kertas di atas meja. Sudut matanya membaca nama di sana. Tertegun.
“Sri Ningsih.”
Zaman menoleh ke Eric. Nama klien tersebut Sri Ningsih? Pemilik kekayaan senilai 19 triliun rupian yang baru saja meninggal itu orang Indonesia? Bukankah Sir Thomson bilang wanita tua itu memegang paspor Inggris?
Eric tertawa mengangguk, “itulah mengapa kamu yang ditunjuk menyelesaikan sattlement wasiat ini, Zaman. Dia memang orang Indonesia, asal negaramu. Kamu bisa menelusuri kehidupan masa lalunya dengan mudah, termasuk mencari ahli warisnya yang mungkin masih hidup. Bergegaslah, pesawat jet telah menunggumu di bandara, kamu harus segera ke Paris, mengunjungi panti jompo. Aku akan menyuruh beberapa staf membantumu dari London.”
Zaman mengangguk, tidak ada waktu bercakap-cakap lagi.
Mengapa aku rela menulis ulang ringkasan cerita yang ada didalam novelnya? Jawabannya, karena aku ingin siapapun nanti yang membaca ini akan mengerti, agar tidak menyisakan kebingungan memehami cerita yang sedang aku review ulang. Aku tak pernah setengah-setengah jika sudah memutuskan untuk memulai sesuatu. Semoga hasilnya baik. Ehe.
Ohya, aku lupa mengatakan bahwa alur cerita dalam novel ini adalah alur maju-mundur. Dimana kita akan dibawa kembali bernostalgia pada kehidupan Sri Ningsih pemilik warisan senilai satu miliar poundsterling. Mari kita lanjut pada perjalanan ke halaman selanjutya.
La Cerisais Maison de Retraite
Paris, Prancis. Aku baru tau kalau nama sungai yang mengalir di bawah menara Eifel adalah Sungai Seine. Haha. Walau cukup tau mengenai menera Eifel, tapi aku tidak pernah terlalu peduli dengan kota itu.
Zaman tiba di Paris pukul sembilan pagi, saat pesawat jet Gulfstream G650 berkapasitas dua belas orang penumpang mendarat di Aeroport de Paris Orly – bandara kedua terbesar di Kota Paris. Tak lama kemudian, Zaman sudah berada di salah satu panti jompo yang berada di jalan Quay D’Orsay. Salah satu jalan di dekat menara Eifel dan menghubungkan ke Sungai Seine.
Suasan panti sepi, tak ada yang bisa ditemui di lantai bawah, semenjak kehadirannya. Zaman mencoba menelusuri panti berharap dapat menemui seseorang untuk mendapatkan informasi. Namun tetap saja dia tidak menemui siapapun. Syukurlah beberapa menit kemudian ada yang sedang turun dari lantai dua lantas menyapanya.
“Bonjuour.”
Zaman refleks menoleh.
Seorang perempuan berusia tiga puluhan, mengenakan pakaian perawat berwarna biru muda. Wajah cantiknya khas penduduk Eropa Timur. Aimee namanya.
Ternyata seluruh penghuni panti sedang berkabung dilantai dua panti. Mereka sedang mengenang kepergian salah satu anggota keluarga mereka, Sri Ningsih. Aimee yang baru saja turun menemui Zaman, masih dengan mata sembab seperti habis menangis.
Setelah Aimee mengenali Zaman dan tujuan kedatangannya. Aimee kemudian menyuruhnya menunggu sebentar karena ada hal yang harus ia selesaikan segera, yaitu mengisi formulir admistrasi kematian Sri Ningsi yang sebentar lagi harus diserahkan ke staf dinas sosial di kota Paris. Selama menunggu, Zaman meminta izin untuk mengelilingi dan mengenali ruangan dan suasan panti. Ia pun segera meminta izin diberi akses masuk kedalam kamar Sri Ningsih. Aimee tak keberatan, dan ia mengatakan kamar Sri Ningsih selama ini ada di lantai enam, dengan nomor kamar 602.
Zaman langsung menuju kamar tersebut. Setelah berdiri di depannya, Zaman mendorong pintu. Ia tertegun. Ini bukan kamar di kota-kota Eropa yang minimalis. Juga bukan kamar di apartemen mewah, ruangan ini lebih mirip rumah di pelosok tanah Jawa. Sederhana tapi bersahabat. Tempat tidur dilapisi sepray putih, dan sepray bantal dengan warna senada. Terdapat sepasang wayang kulit yang menempel di dindingnya. Juga ada foto monas yang sedang dibangun. Sri Ningsih sepertinya tidak pernah melupakan akar tanah kelahirannya.
Di dinding sudut kamar itu juga tertempel poster besar foto Sri Ningsih berlatarkan bus merah dua tingkat khas kota London dengan menggunakan baju dinas yang tak dikenali oleh Zaman. Foto itu berada di dekat jam terbesar di Kota Londoh, Big Ben.
Tak lama kemudian, Aimee melangkah ikut masuk ke dalam kamar. Aimee kemudian mulai memberikan informasi keterangan mengenai siapa Sri Ningsih selama di panti. Aimee bilang, ibu Sri Ningsih tiba di panti ini tahun 2000, enam belas tahun lalu saat usia Aimee masih 20 tahun, ia sedang magang dari sekolah perawat. Perjuangan Sri Ningsih hingga bisa tiba di panti ini tidaklah mudah, ia melakukan perjalanan ratusan kilo meter dari London menuju kota Paris dengan menyeberangi lautan sendirian di musim dingin. Ia tak punya uang sepeserpun, dengan nekat berani ia menumpang dan meminta tolong pada setiap orang yang ditemuinya. Hingga sampailah ia di depan panti dalam keadaan ambruk, pingsan – kelelahan.
Dokter yang memeriksa kesehatannya bilang, kalau ibu Sri Ningsih terlampau lelah, ia akan baik-baik saja setelah infus asupan gizi terpasang. Sorenya ibu Sri ningsih siuman, aku yang menungguinya di samping tempat tidur. Saat matanya terbuka ia menatapku lamat-lamat, “Terimakasih, Nak. Sungguh terimakasih karena telah mengasihani orang tua ini.”
Semenjak kehadirannya, satu minggu pertama ibu Sri Ningsih sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari panti ini. Semua orang menyayanginya dan menyukainya. Ibu Sri Ningsih dikenal begitu berdedikasi. Beliau dikenal baik oleh setiap orang-orang yang ia jumpai, bahkan seluruh penduduk di jalan Quay D’Orsay mengenali sosok Sri Ningsih.
Sri Ningsih juga dikenal tidak penah putus asa, ia selalu berjuang, penyabar dan ulet. Ia bahkan sering menyikati kakus kamar mandi panti di usainya yang sudah begitu tua. Ia juga menyulap bagian atas panti menjadi perkebunan hijau sederhana, ia yang mengusulkan agar penghuni panti mengikuti senam setiap paginya dengan senam khas dari Indonesia yang masih dia ingat, aku membantunya mencarikan musik senamnya kemudian kami setiap pagi senam bersama. Ajaibnya di usianya yang sudah tergolong tua, ia masih mengajar menjadi guru tari di salah satu sekolah di Kota Paris. Aimee tertawa menceritakannya. Namun, hari ini ia telah pergi dan semua penghuni panti merasa kehilangan.
Setelah menemui informasi bahwa ibu Sri Ningsih pernah tinggal di London, Zaman memutuskan pamit untuk segera pergi ke London. Zaman berjanji ia akan datang kembali mengunjungi panti asuhan ini. Sebelum kepergiannya, Aimee menyerahkan sebuah diary, diary peninggalan ibu Sri Ningsih yang dititipkan kepadanya, atas rasa percaya Aimee kepada Zaman, tanpa ragu ia menyerahkannya. Aimee bilang, kau pasti mengerti bahasa yang dituliskan dalam buku diary tersebut. Dengan harapan semoga membantu.
Pulau Bugin.
Selamat datang dikehidupan masa-masa awal seorang Sri Ningsih dilahirkan. Satu-satunya petunjuk yang dimiliki Zaman untuk menemukan ahli waris atas warisan senilai 19 triliun adalan buku diary Sri Ningsih yang baru saja diterimanya. Ia lalu memutuskan terbang ke Indonesia menggunakan Jet pribadi milik firma hukum Thomson & CO.
Juz pertama: Tentang kesabaran. 1946-1960
Terimakasih banyak atas pelajaran kesabaran, bapak, aku akhirnya memahaminya. Apakah sabar memiliki batasan? Aku tahu jawabannya sekarang. Ketika kebencian, dendam kesumat sebesar apapun akan luruh oleh rasa sabar. Gunung-gunung akan rata, lautan akan kering, dan tak ada yang mampu mengalahkan rasa sabar. Selemah apapun fisik seseorang, semiskin apapun dia, sekali ia di hatinya punya rasa sabar, dunia tak bisa menyakitinya. Tidak bisa. Terimakasih banyak untuk tempat yang telah mengajarkan pelajaran. Di sini, di tempat di mana rumah-rumah saling bersinggungan atap, tiada tanah, rumput apalagi pepohonan yan terlihat oleh elang yang terbang tinggi. Di sini, di mana rumah-rumah yang tumbuh dari atas permukaan laut, perahu tertambat di tiang-tiang, dan kambing-kambing mengunyah kertas. Terima kasih.
Setelah beberapa jam Zaman kebingungan menafsirkan, akhirnya misteri tersebut terpecahkan oleh Razak, salah satu pilot yang bekerja bersama Thomson & CO., akhirnya terjawab sudah, bahwa tempat yang di maksudkan adalah Pulau Bugin di Sumbawa.
Zaman langsung menuju kesana, ke lokasi yang diyakini sesuai petunjuk dari Razak, Razak adalah salah satu pilot pribadi firma hukum tersebut, ia berkebangsaan Malaysia. Kedatangan Zaman ke Pulau Bugin kali ini hanya untuk mencari orang yang mengenali siapa Sri Ningsih yang hidup di tahun 1946 hingga 1960. Menjelajahi kehidupan masa lalunya, itu tidak mudah. Beruntungnya Zaman tidak sendirian, ia berdua dengan seorang guide perjalanan yang bersedia membantu dan menemaninya sampai misi selesai. Ada banyak penduduk Pulau Bungin yang sudah silih-berganti, membuatnya harus mengunjungi setiap rumah warga untuk mendapatkan informasi, dan terpaksa menginap di Pulau itu selama lima hari. Di hari terakhir barulah ia bisa bertemu dengan Pak Tua yang baru tiba dari luar kota, Surabaya. Pak Tua merupakan satu-satunya orang terakhir yang diharapkan mengenali sosok Sri Ningsih. Dan keberuntungan baik, Pak Tua memang menganali sosok Sri Ningsih secara detail.
“Aku sangat mengenalnya.” Pak Tua menghela napas. “Dia adalah, ‘gadis yang terkutuk’.”
Nugroho dan Rahayu
Sri Ningsih lahir dari pasangan bahagia Nugroho dan Rahayu, memang benar kalau keluarga mereka bukanlah penduduk suku Bajo Sumbawa, mereka datang dan berasal dari Pulau Jawa. Nugroho dan Rahayu tiba di Pulau Bugin tahun 1944. Sejak tahun 1940, Nugroho bekerja di kapal kargo milik Stoomvaaart Maatschappij Neterland. Nama kapalnya S.S Soemba II, posisinya adalah juru mudi.
Lantas bagaimana Nugroho bisa tinggal di Pulau Bugin?
Saat itu Sumbawa begitu dikenal dengan kerbau-kerbaunya, salah satu sentral kerbau yang dikenal dunia. Kerbau-kerbau itu dibawa ke Suarabaya atau Batavia, juga diekspor ke Singapura, China, India, hingga Eropa. Kerbau di Sumbawa besar, sehat, berdaging banyak dengan perawakan gagah – jantannya memiliki tanduk yang elok. Maka selain membawa barang-barang muatan seperti cengkih dan lada, kapal S.S Soemba II juga mengangkut kerbau-kerbau dari Sumbawa. Dengan itu, Nugroho punya waktu mengenali kota Sumbawa dan sekitarnya, termasuk mengetahui Pulau Bugin.
Empat tahun bekerja di kapal Belanda, tahun 1943 kapal S.S Soemba II hangus terbakar di perairan Bali bersama barang bawaannya. Hanya separuh saja yang selamat atas kejadian itu, termasuk Nugroho. Kehilangan pekerjaan, termasuk kehilangan semangat berlayar membuat Nugroho memutuskan kembali ke kampung halamannya di tanah Jawa. Dengan modal yang dimilikinya dan usianya waktu itu 25 tahun, ia memutuskan untuk melamar gadis pujaan hatinya, Rahayu. Mereka menikah. Kemudian Nugroho membeli ladang sawah yang luas, untuk kemudian menjadi petani saja.
Namun, ia memang tak cakap bertani. Berkali-kali Nugroho mengalami gagal panen. Ia selalu terkenang akan lautan, rindu dengan suasana kapal. Setahun berikutnya ia kembali menjadi pelaut. Menjual seluruh sawahnya yang luas dan membeli sebuah kapal kayu besar juga bekerja sama dengan seorang tauke di Surabaya untuk menjual barangnya. Mereka sudah sepakat, Nugroho yang berlayar dan sang tauke mengatur perdagangan.
Untuk memudahkan berkumpul dengan keluarga, Nugroho memboyong Rahayu tinggal di Sumbawa Besar. Waktu itu Rahayu hamil muda, keluarga kecil bahagia.
Tapi suasana bahagia itu kacau-balau, enam bulan tinggal di Sumbawa, dalam perjalanan membawa rempah-rempah ke Surabaya, Nugroho dikhianati oleh tauke. Tauke ingin menguasai seluruh kepemilikan usaha dan ingin juga menguasai seluruh kepemilikan kapal. Serdadu Belanda menemukan barang haram di dalam kapal Nugroho, membuat serdadu belanda tanpa ampun, serdadu Belanda menangkap kemudian menjebloskan Nugroho ke penjara. Enam bulan di kerangkeng besi. Dia kehilangan kapal, kehilangan muatan, termasuk mendapat kabar sedih, istrinya keguguran. Ia kehilangan bayi.
Selepas dari penjara, dengan sedikit sisa tabungan, Nugroho mengajak istrinya pindah ke Pulau Bugin, menjadi nelayan. Hanya itu pilihan yang tersisa. Mereka memulai kehidupan baru. Nugroho tidak tertarik lagi bekerja membawa kapal barang. Terlalu banyak intrik di dalamnya, dan ia juga tidak mau pulang ke pedalaman Jawa menjadi petani.
“Sri Ningsih adalah putri sulung Nugroho – setelah bayi yang keguguran sebelumnya. Maka inilah kisah Sri Ningsih yang akan aku ceritakan.” Pak Tua.
Pagi kesekian kalinya di Pulau Bugin.
Rahayu berdiri di tepi dermaga bersama ibu-ibu, remaja putri dan anak-anak. Sambil mengelus perutnya yang besar – hamil sembilan bulan, wajahnya terlihat cerah, mengalahkan cerahnya sinar matahari pagi. Di bibirnya tersungging senyum, liahtlah, suaminya yang sudah enam minggu melaut, tampak melambaikan tangan dari kapal, sementara ABK lain sibuk menambatkan tali-temali.
Rahayu manatap mesra suami yang berjalan di dermaga kayu. Di bawah cahaya matahari pagi, Nugroho menggenggam lengan istrinya.
“Kamu cantik sekali, Dek. Aku sampai pangling.”
Rahayu tersipu malu.
“Mas baik-baik saja?”
“Kapal baik, tangkapan baik, fisikku juga baik. Tapi hatiku tidak, Dek.”
“Eh”
“Hatiku tak terkira dirundung rindu, Dek. Ingin bertemu denganmu.”
Wajah Rahayu semakin bersemu merah.
Sesampainya di rumah, Nugroho membuka tasnya mengeluarkan sesuatu.
“Aku punya hadiah untukmu, Dek.”
“Untukku?”
“Bukalah.”
“Ini bagus sekali, tapi ini pasti mahal.”
“Jangan cemaskan itu, Dek. Kapal haji yang membeli ikan kita memberikan harga yang sangat baik. Aku belum pernah bertemu dengan nahkoda kapal Belanda sedermawan itu. Namanya Kapten Phillips, nama kapalnya Blitar Holland, dia menghargai ikan-ikan itu sama persis seperti ia membelinya di Eropa. Aku juga membeli beberapa daster, pakaianmu, juga keperluan untuk sikecil.” Nugroho mengeluarkan banyak bungkusan dari tasnya.
“Eh, kamu menangis, Dek Rahayu? Aduh kenapa?”
Rahayu menyeka pipinya, mengangguk.
“Aku menangis bahagia, Mas. Terimakasih.”
Minggu-minggu berlalu, persiapan melahirkan telah paripurna. Tetangga juga sudah siap menantikan kehadiran salah satu anggota baru dengan tradisi suku Bajo. Dengan hitungan jari, hari besar itu akan tiba. Nugroho semakin bersemangat.
Malam itu, matahari baru terbenam di kaki langit. Selepas shalat maghrib penduduk berkumpul di ruang tengah rumah Nugroho, tikar dibentangkan, makanan dihidangkan, dia membuat acara syukuran. Ruang tengah ramai oleh percakapan, sesekali ditingkahi gelak tawa.
Saat acara hampir usai, mendadak terdengar keributan di dapur. Apa yang terjadi? Rahayu terjatuh saat membawa piring-piring kotor, tubuhnya terduduk di lantai papan. Tak menunggu waktu lama, kain yang dikenakannya dibasahi oleh darah. Merembes hingga kelantai, ibu-ibu lain menjerit memberi tahu. Nugroho disusul kepala kampung bergegas menuju dapur.
“Ode!! Panggil dukun beranak segera! Lari secepat mungkin!!”
Lima menit dukun beranak tiba di rumah panggung, perempuan berusia lima puluh tahun. Hampir seluruh bayi yang lahir ia yang membantu melahirkan.
“Istrimu akan melahirkan Nugroho.” Dukun beranak memberi tahu setelah memeriksa dengan cepat. “Tapi dia mengalami pendarahan.”
Untuk tahun 1940-an itu kasus yang amat rumit. Tidak ada dokter, tidak ada rumah sakit, semua amat tergantung pada pengalaman dukun beranak. Dukun beranak menyuruh menyiapkan perlengkapan melahirkan. Gerakan dukun gesit, perhitungannya matang, segera memulai proses melahirkan. Dia tahu, dengan pendarahan hebat, tidak mudah menyelamatkan kedua-duanya.
Malam itu dengan sisa tenaga terakhir, dibantu oleh dukun, Rahayu melahirkan bayi perempuan, tetapi persis ketika bayi itu berhasil keluar dan menangis kencang, tubuh rahayu mulai lunglai tak berdaya. Matanya terpejam.
“Dek...” Nugroho menggemgam jemari isrtinya membuatnya terus terjaga.
“Dek Rahayuu!!” Nugroho berseru panik. Apa yang terjadi?
“Beri dia nama Sri Ningsih.” Rahayu tersenyum, pipinya berlinang air mata. “Aku bahagia sekali telah menemani Mas selama ini. Tinggal di pulau ini...aku bahagia sekali.”
“Dek Rahayu! Jangan Pergii!!”
Senyum Rahayu mulai menipis.
“Dek Rahayu!”
Mata Rahayu telah terpejam.
Kamar itu menyisakan tangis bayi. Semua orang terdiam, saling tatap dengan rona berduka. Bukankah tadi mereka tadi syukuran, berkumpul, mengobrol hangat? Bukankah tadi mereka sedang saling bergurau, tertawa, berbicara tentang esok lusa yang penuh masa depan indah? Sekarang? Cepat sekali semua berubah, seperti lautan, tiba-tiba mendung menutupi langit mengusir matahari cerah.
Nugroho memeluk tubuh membeku istrinya. Dia sudah lama sekali tidak menangis, dia adalah pelaut tangguh, pantang baginya untuk menangis. Tapi malam ini tetes air matanya jatuh kelantai.
“Ode. Pukul bedug di masjid, kabarkan kalau ada penduduk yang telah meniggal.” Kepala kampung berkata pelan pada anaknya.
Waktu Melesat Cepat
“Aku ingat sekali kejadian tersebut.” Pak Tua mengusap rambut putihnya, “Akulah Ode, anak kecil tinggi kurus tersebut. Anak yang disuruh-suruh.”
“Esok harinya, Rahayu dikuburkan di seberang. Pulau Bungin tidak punya lahan pemakaman, kami menumpang di kampung lain. Puluhan perahu nelayan berangkat, jenazah Rahayu diletakkan di kapal besar milik ayahku, seperti arak-arakan. Gerimis membasahi lautan, itu pemandangan yang begitu memilukan. Meski bukan penduduk asli, bukan suku Bajo, keluarga Nugroho dikenal dekat. Mereka tatangga yang baik hati dan ringan tangan dalam membantu.
“Sri Ningsih piatu sejak lahir. Bayi mungil itu sama sekali tidak tahu kalau ibunya hidup-mati melahirkannya. Sesuai musyawarah tetua kampung, ibuku memutusakan merawat Sri Ningsih. Kami enam bersaudara laki-laki semua, aku anak yang paling kecil, jadi ibuku tidak punya lagi anak yang harus dirawat, dia bisa meluangkan banyak waktu. Setiap kali Nugroho pergi melaut, Sri Ningsih dititipkan di rumah kami. Aku senang sekali, seperti punya adik kandung. Sri Ningsih tumbuh sehat tak kurang satu apapun. Nugroho amat menyayangi putrinya.
“Hari berlalu. Bulan beranjak menyulam tahun. Tidak terasa Sri Ningsih sudah berusia delapan tahun. Sama seperti anak-anak lain, warna kulitnya gelap, tubuhnya pendek, gempal, rambutnya panjang hingga kepunggung. Dia sering terlihat bermain dengan anak-anak lain, sesekali ikut melaut dengan anak pulau atau pergi ke Kota Sumbawa. Anak itu amat periang, giginya tanggal dua, saat tersenyum atau tertawa tak pelak membuat orang lain jadi terpingkal.
“Menunaikan janji pada istirnya, Nugroho mengirim Sri Ningsih sekolah. Malam hari ia belajar mengaji di Pulau Bungin. Siang harinya, ia belajar membaca dan berhitung di sekolah seberang pulau. Tahun-tahun itu Indonesia baru saja merdeka, tidak banyak sekolah yang tersedia, tetapi hadirnya cabang organisasi keagamaan seperti NU atau Muhammadiyah di Pulau Sumbawa, banyak aktivis mendirikan sekolah-sekolah rakyat. Setiap pagi akan ada nelayan yang mengantar Sri Ningsih ke seberang, kemudian menjemputnya pulang siang hari.
“Ah iya, delapan tahun berlalu, berkat kerja keras, Nugroho telah menjadi salah satu orang terpandang di Pulau Bungin. Dia memiliki kapal besar untuk melaut, tidak lagi menjadi nahkoda ayahku. Ia juga memiliki beberapa perahu nelayan kecil. Ada belasan ABK yang bekerja untuknya, termasuk pembantu. Rumahnya juga semakin bagus dengan perabotan terbaik. Zaman itu, Nugroho bahkan memiliki radio, dia beli dari kapal Belanda. Berita di awal-awal kemerdekaan Indonesia kami dengar dari radio milik Nugroho. Ayahku semakin tua mengusulkan agar Nugroho diangkat menjadi kepala kampung berikutnya, tetapi sepertinya dia tidak terlalu tertarik, menolaknya dengan sopan.
“Perlahan tapi pasti, kesedihan atas kepergian istrinya jauh tertinggal di belakang. Nugroho yang usianya masih kepala tiga, kembali jatuh cinta, dengan wanita asli Pulau Bungin. Namanya Nusi Maratta, usia gadis itu baru dua puluh, kembang desa. Cantik. Tidak perlu berlama-lama lagi saat tahu mereka menyimpan perasaan saling suka, keluarga Nusi Maratta menyetujui. Mereka berdua menikah di penghujung tahun 1954. Meriah sekali Pulau Bungin saat acara pernikahan itu, lampu petromaks dan obor dipasang di setiap sisi jalan. Panggung besar didirikan, kenalan jauh berdatangan. Ayahku menjadi orang tua angkat Nugroho dalam proses pernikahan.
“Kisah ini awalnya terlihat sangat indah, Sri Ningsih mendapat ibu kembali dan Nugroho memiliki istri baru. Tapi lagi-lagi persis seperti lautan yang berubah, mendung dengan cepat menutupi langit cerah. Atau seperti ada yang jahil menuangkan tinta hitam ke dalam beningnya laut, air berubah menjadi pekat.”
Pak Tua diam sejenak, menghembuskan napas panjang.
“Apa yang terjadi Pak Tua?”
“Sesuatu terjadi, peristiwa memilukan menimpa keluarga mereka. Sejak saat itu Nusi Maratta berubah amat membeci Sri Ningsih, bahkan dia menyebut Sri Ningsih sebagai ‘anak yang terkutuk’.”
----
Nusi Maratta hamil, tak ingin kejadian menyakitkan seperti dulu terulang lagi, Nugroho memutuskan cuti melaut sampai persalinan istrinya selesai. Selama ini Nugroho menghabiskan banyak waktu di rumahnya, menyempatkan mengantar dan menjemput Sri Pulang sekolah. Juga meluangkan banyak waktu bercakap-cakap dengan anak sulungnya.
Sampai seuatu ketika, diperjalanan pulang sekolah bersama Sri Ningsih, Nugroho melihat sepatu anak sulungnya sudah kekecilan. Nugroho berjanji pada anak sulungnya untuk membelikan hadiah sepatu di ualng tahunnya yang kesembilan tahun nanti.
Di kesehariannya, hubungan Sri Ningsih dengan ibu tirinya juga terbilang harmonis, mereka sering menghabiskan waktu bercakap-cakap berdua, Sri Ningsih adalah anak yang begitu menyenangkan.
Nusi Maratta asik merapikan tumpukan pakaian di lemari dibantu oleh Sri.
“Ibu dengar kamu paling suka pelajaran Bahasa, Sri?” Nusi tersenyum.
“Sebenarnya tidak juga sih, bu.” Sri menggeleng, mata bulat hitamnya mengerjap-ngerjap.
“Bukankah Tuan Guru Bajang bilang begitu? Lantas kamu suka pelajaran apa?”
“Tapi ibu jangan bilang-bilang ke bapak.”
Nusi mengangguk.
“Sri paling suka pelajaran kosong, bu.” Sri menjawab sambil nyengir.
Nusi Maratta yang sudah serius sekali menunggu jawaban anak tirinya tertegun sejenak, kemudian tertawa. Sri memang anak kecil menjelang usia sembilan tahun yang sangat menyenangkan.
Mendadak tawa Nusi terlipat, gerakan tangannya yang sedang melipat pakaian terhenti. Nusi Maratta mengalami kontraksi pertama.
“Ode!! Panggil dukun beranak!”
Ode meletakkan bilah bambu sembarang, lantas berlarian secepat yang ia bisa.
Semua kejadi berlangsung cepat dan berbeda seperti ketika Sri dilahirkan dulu, kali ini berjalan baik. Lima belas menit kemudian tangis bayi terdengar dari rumah panggung besar itu. Proses persalinan lancar, bayi selamat dan ibunya tidak kurang satu apa pun. Dukun beranak menghembuskan napas lega, menepuk bahu Nugroho yang sedari tadi amat tegang. Penduduk segera berdatangan berkumpul di teras. Wajah-wajah turut bersuka-cita. Bayi itu lahir tiga minggu lebih cepat dari tanggal ulang tahun Sri Ningsih, dan bayi itu laki-laki.
Nama bayi laki-laki itu Tilamuta. Generasi kesekian dari nelayan suku Bajo di Pulau Bungin. Nugroho menggelar syukuran tiga malam sebagai ungkapan syukur atas bayi dan ibunya yang sehat. Tiga hari berturut-turut rumah panggung besar itu tidak pernah sepi dari penduduk. Ibu-ibu bergotong-royong membuat hidangan di dapur dan laki-laki dewasa memotong beberapa ekor kambing. Tidak hanya penduduk setempat, perahu-perahu luar pulau juga tertambat di dermaga, beberapa kenalan dari Sumbawa berdatangan mengucapkan selamat sembari membawa buah tangan.
Sri Ningsih sempat menginginkan adik perempuan, tetapi sepertinya dia sudah melupakan keinginannya tersebut. Menyaksikan betapa lucunya Tilamuta, dia tertawa lebar, berubah pikiran, adik laki-laki pun tidak masalah. Favorit Sri adalah ketika ia disuruh menemai Tilamuta ketika ibu tirinya hendak mandi atau hendak melakukan sesuatu. Sri senang sekali, seolah seperti diberikan tugas besar.
Pagi keempat belas sejak kelahiran Tilamuta, Nugroho memutuskan kembali melaut. Gerimis turun membungkus pulau, angin kencang berkesiur membuat asap seng bergemelutuk.
Istrinya Nusi, keberatan akan keputusan suaminya melaut hari itu, di karenakan Tilamuta masih sangat merah. Namun, tidak ada yang bisa menghalangi keinginan Nugroho. Nugroho bilang, ia sudah lama sekali tidak melaut, dan ia harus memenuhi janjinya pada saudagar-saudagar untuk mengambil barangnya dari Surabaya. Sekaligus Nugroho ingin memenuhi janjinya membelikan sepatu baru untuk Sri Ningsih di hari ulang tahunnya yang kesembilan tahun. Akhirnya Nusi dengan rela hati mengizinkan suami nya pergi melaut.
Nusi menatap suaminya dengan wajah sedih. Sia-sia dia tidak bisa membatalkan niat Nugroho. Nugroho mencium kening Tilamuta, yang tertidur nyenyak di atas dipan. Kemudian dia meraih tas besar, meletakkannya di punggung, melangkah menuju teras depan.
Sri berdiri disana, menunduk sejak tadi, lamat-lamat mendengarkan percakapan kedua orang tuanya.
Nugroho mendekatinya, “Bapak berangkat, Sri.”
Gadis kecil itu mengangguk pelan.
Nugroho menyentuh bahu putri sulungnya, “Jaga adikmu dengan baik.”
Gadis kecil itu mengangguk lagi.
“Selama bapak pergi, hormati dan patuhi ibumu. Lakukan apa yang dia suruh tanpa bertanya. Turuti apa yang dia perintahkan tanoa membantah. Jangan mudah menangis, jangan suka mengeluh. Kamu adalah anak pelaut tangguh. Bersabarlah dalam setiap perkara.”
“Iya, Pak.” Gadis kecil itu memahat janji dihatinya.
Nugroho mencium ubun-ubun Sri, lantas menuruni anak tangga.
Gerimis yang deras tak membuat langkah Nugroho surut, dia melewati jalan setapak menuju dermaga kayu di bawah butiran air hujan. Beberapa ABK sudah siap di atas kapal besar, tinggal menunggu nahkodanya. Sri menatap punggung bapaknya dari kejauhan. Nugroho naik keatas kapal, melambaikan tangan kearah rumah panggung besar. Sri balas melambai.
Lima menit kemudian, kapal itu sudah beringsut meninggalkan dermaga. Hari itu, tahun 1955, usia Sri Ningsih menginjak sembilan tahun, itulah terakhir kalinya Sri malihat bapaknya. Sejak hari itu ia sempurna menjadi yatim-piatu.
Bulu Babi dan Teripang.
Normalnya perjalanan sumbawa–Surabaya pulang-pergi dengan kapal layar zaman itu membutuhkan waktu empat hari.
Maka mulai hari kelima sejak keberangkatan bapaknya, setiap pagi saat dia terbagun, sebelum melakukan hal lain, Sri Ningsih akan bergegas menuruni anak tangga, lari ke dermaga. Berharap kapal bapaknya sudah tertambat gagah di sana. Sayangnya tidak ada. Dermaga kosong lengang, menyisakan suara debur ombak lautan.
Hari keenam. Juga tidak ada.
Hari ketujuh. Kapal itu tidak kunjung pulang.
Hari kedelapan. Tetap tidak ada kapal bapak nya.
Hari kesembilan. Tidak hanya Sri yang bertanya-tanya, kecemasan besar melanda seluruh pulau.
Hari kesepuluh. Sri mendapat kabar dari kepala kampung kalau bapaknya tidak akan pernah kembali.
Kapal bapaknya tenggelam di perairan Bali. Bapaknya terjebak di area badai besar puting beliung di tengah lautan. Kapalnya terbalik seluruh awak kapal meninggal, tidak ada yang tersisa.
Sri seolah tak percaya dengan apa yang didengarnya barusan, dan dia berusaha meyakinkan dirinya sendiri kalau ini bukan mimpi. Kepala kampung mengangguk, berita itu benar. Sri Ningsih berlarian ke arah kampung, ia tak ingin orang lain melihatnya menangis.
“Ode, pukul bedug masjid sebanyak penduduk yang wafat. Beri tahu penduduk pulau.”
Ode mengangguk.
---
Lain halnya dengan Nusi Maratta. Perempuan dua puluh dua tahun itu menangis histeris di teras depan sambil memukul-mukuli lantai. Butuh banyak ibu-ibu untuk menenangkannya, bahkan Nusi Maratta lupa sejenak kalau bayinya Tilamuta kelaparan, merengek meminta ASI.
Pulau Bungin berduka. Selain Nugroho ada delapan penduduk lainnya yang ikut dalam perjalanan itu – tambahkan pemilik barang juga naik kapal dari Surabaya. Ini musibah besar, sudah lama sekali tidak ada kapal nelayan yang hilang di lautan.
Lazimnya setiap musibah terjadi, hari-hari pertama masih banyak kerabat, tetangga yang menghibur dan menemani. Rumah panggung besar itu ramai, nasihat dan petuah bersabar disampaikan silih berganti, termasuk dari Tuan Guru Bajang. Tapi ketika hari-hari berlalu, tinggallah Nusi Maratta dan Sri harus melewati seluruh lautan kesedihan. Dan itu tidak semudah kalimat nasihat-nasihat indah.
Kabar malang itu belum cukup. Sudah jatuh tertimpa tangga, tujuh hari setelah kabar itu tiba di Pulau Bungin, saudagar dari Sumbawa datang untuk menuntut ganti rugi–bersama robongan penagih hutang. Saudagar itu kehilangan anak sulng yang ikut kapal Nugroho, juga perti-peti berisi barang berharga. Nyawa memang tidak bisa diganti, tetapi menjadi kewajiban nahkoda kapal memastikan barang-barang itu tiba dengan selamat, atau jika tidak, dia harus menggantinya.
Nusi Maratta menolak, dia tidak mau. Tetua dan kepala kampung juga sudah menahan. Tapi apa boleh dikata, tanpa bisa melawan, rombongan saudagar itu mengambil paksa, perahu-perahu dan jaring milik Nugroho. Merka juga mengambil harta benda di rumah panggung besar itu, perhiasan, uang simpanan, radio, jam tangan, karung beras, semuanya. Nusi Maratta harus dipegangi banyak tetangga agar tenang. Sementara Sri, hanya bisa menunduk di pojok teras.
“Kamu sudah makan, Sri?” Ode bertanya. Sore hari setelah penyitaan harta benda.
Sri menggeleng, hari ini tidak ada makanan di rumahnya.
Onde mengulurkan makanan yang di bungkus daun pisang.
“Makanlah.”
“Terimakasih.” Sri mengangguk menerima.
Bukan kelaparan atau jatuh miskin yang membuat kehidupan Sri rumit. Sejak kecil ia sudah dibiasakan bapaknya hidup prihatin, melainkan perubahan perangai ibu tirinya. Nusi Maratta amat kehilangan suaminya, Nugroho. Rasa cinta yang begitu besar dan direnggut tiba-tiba itu membuat akal sehatnya tersisihkan. Berhari-hari berlalu dalam kesedihan, bermalam-malam meratapi nasib yang begitu kejam membuatnya janda, Nusi Maratta mendadak menjadi amat benci kepada anak tirinya. Nusi melampiaskan seluruh gusar dan amarahnya kepada Sri Ningsih. Dia menyalahkan Sri Ningsih.
Inilah bagian paling sulit dalam kehidupan Sri kemudian.
---
“Berapa kali harus ku bilang, hah?” Nusi Maratta berteriak, wajahnya merah padam.
“Maaf, Bu aku tidak sengaja.” Sri gemetar ketakutan.
“Matamu taruh dimana?” Nusi Maratta meraih rotan panjang di atas meja.
Sri hendak melangkah mundur, tapi kakinya seperti berat digerakkan.
“Kamu kira harga bahan makanan itu murah? Gratis?” Nusi memukulkan rotan, telak mengenai lengan Sri.
Gadis kecil itu mengaduh perlahan. Satu kali. Dua kali. Tiga kali.
“Pel seluruh lantai, atau malam ini kamu tidur di luar! Tidak ada makan malam untukmu.” Nusi menjadi beringas, setelah puas memukul anak tirinya.
Enam bulan semenjak ditinggal Nugroho, cukup hal sepele untuk membuat Nusi marah besar. Seperti sekarang, saat Sri mumpahkan manakan dari mangkok ketika hendak membawanya ke meja makan. Sedikit sekali yang tumpah, tapi berhasil memancing amarah Nusi Maratta.
Gadis kecil itu beringsut duduk, mengambil lap dengan tangan bergetar membereskan tumpahan makanan. Ini bukan kali pertama Sri dimarahai dan dipukuli ibu tirinya. Bukan pukulan rotan yang menyakitinya, itu tidak seberapa, dia bisa menerimanya, melainkan luka di hati, mendengar kalimat-kalimat ibu tirinya.
Dengarlah, saat gadis itu mengambil kain pel, Nusi Maratta mulai mengomel panjang mengawasinya.
“Kamu tahu kenapa bapakmu tenggelam di laut, hah? Tahu tidak?”
Sri tidak menjawab.
“Itu karena kamu anak sial! Anak yang dikutuk.”
“Ibumu! Masih ingat ibumu? Dia mati saat melahirkan anaknya yang dikutuk. Dan setelah itu bapakmu matihanya karena ingin membelikan sepatu baru untukmu. Kamu membawa seluruh kesialan dikeluarga ini. Kamu membuat orang lain mati.”
Sri mendorong kain pel perlahan. Dia ingin menangis. Matanya berkaca-kaca, tapi dia mencegah habis-habisan air matanya tumpah, menggigit bibir. Tilamuta merengek di kamar, popok bayi berusia enam bulan itu basah, membuat sumpah sarapah Nusi Maratta berhenti sejenak.
Setengah jam mengepel seluruh lantai, Sri beringsut kebelakang, mulai mencuci piring kotor, yang menjadi tugasnya semenjak pembantu rumah mereka berhenti.
---
Bulan-bulan berlalu seperti merangkak.
“Kamu belum pulang, Sri?” Ode bertanya.
Sri menggeleng, matanya awas memperhatikan laut selutut. Hanya bermodalkan cahaya purnama, gadis kecil itu terus mencari teripang.
“Ini sudah pukul delapan malam, Sri.” Ode mendesak.
“Ibuku akan marah jika embernya tidak penuh.”
“Tapi mau sampai jam berapa?”
“Tidak tahu, sampai embernya penuh.”
“Kamu selalu saja menuruti ibumu, Sri.”
Sri tidak menjawab.
“Ayo, Sri, anginnya semakin kencang. Lagi pula berbahaya malam-malam mencari teripang. Boleh jadi ada ular laut yang berkeliaran.”
Ode benar, ular laut punya bisa ratusan kali lebih kuat dibandingkan dengan kobra, amat berbahaya. Ular-ular itu menyelinap di dalam air, di balik karang-karang laut.
Sri menggeleng perlahan. Ia tidak bisa pulang jika embernya belum penuh, ia tidak tahu harus sampai jam berapa. Satu tahun sejak kepergian bapaknya, bukan hanya harus membantu pekerjaan rumah, mengepel, mencuci, menyetrika, memasak, dia juga harus bekerja mencari uang. Mencari teripang, kerang, ikan, atau telehe (bulu babi) di laut dangkal sekitaran Pulau Bugin. Sejak jam satu siang dia mencari teripang, membawa ember. Jika tadi siang tubuhnya disiram terik matahari, malam ini badannya dingin diterpa angin kencang.
“Pulang, Sri!” Ode menarik tangan gadis kecil itu.
“Aku tidak mau.” Sri mengibaskan tangannya.
Ode tidak berhasil membujuknya, hanya bisa menatap Sri yang terus mengitari laut dangkal hingga larut malam. Kemudian saat emnernya sudah penuh, barulah ia melangkah untuk pulang.
Gadis itu berjalan menuju jalan setapak yang lengang, dia beringsut menaiki anak tangga rumahnya, mendorong pintu, meletakkan ember berisi teripang di ruang depan. Lima menit berlalu, tumbuh pendek gempal hitam itu sudah tertidur lelap di lantai papan. Kelelahan. Hany untuk besok pagi, pukul empat subuh, bergegas bangun sebelum Nusi Maratta menyiramnya dengan air.
---
Bertahun-tahun berlalu dengan penuh kekerasan.
“Hanya ini?” Nusi Maratta menloto, wajahnya merah padam.
Sri menunduk, “Iya, bu. Kata pengepul di pulau seberang harga telehe memang sedang jelek.”
“Hanya ini, hah?” Nusi Maratta sekali lagi bertanya, sambil menusukkan tongkat rotan ke dada Sri.
Sri diam, tidak berani menatap wajah galak ibunya.
“Kamu kira menampungmu di rumah ini biayanya murah? Nasi yang kamu makan, sayur, lauk, itu tidak gratis. Dan kamu hanya bisa membawa pulang uang hanya ini?”
Sri menunduk semakin dalam. Dia sudah seharian membawa perahu kecil pinjaman dari tetangga untuk melaut di sekitar pulau, mengumpulkan bulu babi. Tangkapannya banyak, tapi harganya memang lagi murah. Itu pun tetangga tempat ia meminjam kapal menolak menerima bagian uangnya.
“Kalau kamu sudah tahu harga telehe rendah, kenapa kamu tidak mencari teripang? Dasar bodoh, gunakan otakmu berpikir.” Nusi Maratta mengomel.
Sri terdiam, menatap lantai papan. Dia hendak menjelasakn kalau saat ini teripang susah di dapat, belum musimnya, menceri bulu babi lebih mudah. Tapi jawaban darinya akan membuat ibu tirinya semakin mengamuk.
“Malam ini kamu tidur di luar! Tidak ada dipan gratis.”
Nusi Marattam membanting pintu depan. Bedebam. Menyisakan gadis kecil yang sekarang sudah berusia empat belas tahun. Lima tahun berlalu sejak kepergian Nugroho. Tubuh Sri sudah bertambah satu jengkal, tapi dibanding anak-anak lain, dia tetap terlihat lebih pendek, gempal, hitam.
Sri ningsih menyeka keringat di kening. Termangu menatap pintu yang tertutup rapat. Teras depan lengang. Kampung nelayan juga telah sunyi, ini pukul sembilan malam, penduduk sudah beranjak tidur. Tadi Sri kemalaman dari pengepul, mengayuh dayung sendirian menuju Pulau Bungin, berlarian berusaha tiba di rumah. Itu semua hanya untuk menerima kemarahan ibunya.
Petir menyambar membuat terang sekitar. Disusul gemeretuk guntur. Malam ini sepertinya akan turun hujan lebat. Itu kabar buruk, angin kencang akan membawa tampias air, dia pasti kehujanan. Tapi apa yang bisa dia lakukan? Mendorong pintu yang tidak dikunci memaksa masuk? Ibu tirinya akan semakin mengamuk, memukulinya tanpa ampun. Sri baru bisa masuk rumah besok pukul empat subuh, itupun karena tugas memasak sudah tiba, dia harus ke dapur.
Sri akhirnya beranjak duduk di pojok teras – area paling jauh dari tampias. Tubuhnya terasa sakit dan letih. Ia menatap dermaga kayu dari kejauhan. Sekali lagi, petir menerangi sekitar. Sri terbayang kapal besar milik bapaknya sedang merapat di dermaga. Terbayang dia berlarian menyambut bapaknya pulang. Gadis kecil itu menyeka ujung matanya. Tidak. Dia sudah berjanji untuk tidak akan pernah menangis lagi. Dulu sebelum pergi, bapaknya menyuruh Sri agar dia kuat dan sabar.
Apakah sabar punya batasnya?
Sri tersengal menahan tangis. Sudah lima tahun ia bersabar atas perangai ibu tirinya.
Apakah dia memang anak yang dikutuk?
Sri bergegas mengambil posisi tidur meringkuk, mengusir sejauh mungkin pikiran jelek yang melintas di kepala. Dia bukan anak yang dikutuk, apa pun yang terjadi adalah skenario terbaik dari Tuhan. Dia ingin segera tertidur, agar bisa memeluk semua rasa sakit.
Petir sekali lagi menyambar terang. Guntur kali ini menggelegar. Tetes pertama air turun menerpa atap seng, disusul jutaan tetes berikutnya, hujan menyiram Pulau Bungin.
Setengah jam berlalu, gadis kecil itu akhirnya menangis dalam tidurnya. Tanpa air mata. Separuh tubuhnya lembab oleh tampias air hujan.
: Tentang Kamu. Tere Liye. Jakarta. Republika, Oktober 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar