Oma Tak Perlu Mengatakannya

Oma menoleh. Mata tuanya membuka.

“Kau tidak bisa tidur, Tegar?”

Aku menggeleng. Memegang belakang kursi Oma, menggerakkannya pelan, membuat Oma nyaman di atasnya.

“Seharusnya kau tidur. Bukankah besok pagi-pagi sekali kau berangkat ke Jakarta?”

Aku mengangguk. Suara air menerpa atap resor terdengar berirama. Akan amat menyenangkan tidur dengan nina-bobo suara air hujan.

“Aku senang. Akhirnya setelah dua tahun yang sia-sia kau memilih melakukan hal yang benar.” Suara tua Oma terdengar bergetar.

“Anak-anak tidak senang dengan kabar itu.”

“Anak-anak akan baik-baik saja. Mereka akan terbiasa dengan kepergian kau. Mereka memiliki ibunya sekarang.”

“Rosie juga tidak senang dengan kabar itu.” Entah mengapa aku mengucapkan kalimat itu, terucap begitu saja.

Oma menoleh. Menatapku lamat-lamat. Menggeleng.

“Dengarkan aku, Anakku. Malam ini biarlah Oma ceritakan kejadian masa lalu itu.” Oma berkata pelan setelah menghela napas panjang.

“Bukankah Oma pernah bilang berkali-kali.” Oma tetap melanjutkan kalimatnya, “Tidak ada mawar yang tumbuh di tegarnya karang, Anakku. Tidak ada. Takdir kalian kejam. Tapi apapun yang kau dengar dari Oma, yakinlah keputusan terbaik bagi kau adalah kembali ke Jakarta, menjemput janji kehidupan bersama Sekar. Yakinlah, apa pun yang kau dengar malam ini, pilihan terbaik bagimu tetap ke Jakarta.”

Aku mengusap wajah kebasku. Tidak mengerti.

“Kau terlampau mencintai Rosie, Tegar. Maka hatimu terkadang sering menipu. Kau dulu sering bertanya apakah kau punya kesempatan? Menurut orang tua ini, kalian berdualah yang justru tidak berani membuat kesempatan itu. Betapa tidak beruntungnya. Kalian menyerahkan sepenuhnya kesempatan itu kepada suratan nasib. Tapi itu tidak buruk. Bukan sebuah kesalahan. Maka biarkanlah seperti itu selamanya. Juga untuk urusan malam ini, biarkanlah seperti itu.... Andai-kata takdir itu memang baik untuk kalian, maka akan ada sesuatu yang bisa membelokkan semua kenyataan. Tapi sepanjang sesuatu itu belum terjadi, maka seperti yang aku bilang, tidak pernah ada mawar yang tumbuh di tegarnya karang, Anakku.” Oma berhenti sejenak, memperbaiki syal di lehernya.

Aku menatap diam perapian yang bergemelutuk.

“Kau tahu, setelah sekian lama menahan keinginan untuk bilang kepada Rosie, pagi buta sebelum pernikahan itu, Oma tak-kuasa untuk tidak mengatakannya. Lagipula awalnya Oma pikir, mengatakan itu tidak akan membuat perubahan. Rosie paling hanya terdiam. Terkejut. Hanya itu. Tidak lebih. Tidak kurang. Tetap melanjutkan rencana pernikahannya. Cerita Oma tidak akan berpengaruh apapun. Tidak akan merubah takdir, tidak akan membuat sesuatu yang seharusnya terjadi menjadi tidak terjadi, dan sebaliknya.”

“Oma tahu, kau menyimpan perasaan itu sejak kecil. Masa-masa remaja kalian. Kau sudah amat mencintai Rosie saat itu. Saking besarnya, tidak memberikan kesempatan sedikitpun bagi Rosie untuk sebaliknya mengenali perasaannya kepada kau. Rosie tidak pernah merasa sedetik pun kau pergi darinya. Kau selalu ada saat dibutuhkan.... Tahukah kau, Tegar, untuk membuat seseorang menyadari apa yang dirasakannya, justru cara terbaik melalui hal-hal yang menyakitkan. Misalnya kau pergi. Saat kau pergi seseorang baru akan merasa kehilangan, dan dia mulai bisa menjelaskan apa yang sesungguhnya dia rasakan.”

“Tetapi tidak pada kalian. Rosie tidak pernah berkesempatan mengerti apa sebenarnya perasaannya. Hingga Nathan datang. Lazimnya gadis muda yang melihat seorang pria menawan. Rosie tiba-tiba merasakan ketertarikan yang hebat. Apakah itu cinta? Tentu saja. Dalam pengertian yang berbeda. Dan Nathan jauh lebih agresif dibandingkan kau. Dia berbeda. Itu kabar buruk bagimu.” Oma mengusap wajah keriputnya.

“Rosie tidak pernah mengerti apa perasaannya kepadamu, dan sebelum dia benar-benar mengerti Nathan datang dengan pesonanya. Membuat seolah –olah mengerti. Dia menerima Nathan. Dan kau? Kau terlemparjauh sekali. Apa yang Oma bilang tadi tentang kesempatan? Kau tidak pernah berani membuat kesempatan itu dengan tanganmu. Kau kalah. Dan aku sungguh keliru, ternyata Rosie juga tidak pernah punya keberanian untuk membuat kesempatan dengan tangannya.”

“Subuh itu, aku tidak kuasa lagi untuk tidak bilang kepada Rosie. Ya Tuhan, aku amat menyayangimu, Tegar. Dalam urusan ini kalau boleh jujur, Oma menginginkanmu menjadi bagian keluarga besar resor. Seperti Anggrek yang sekarang menginginkanmu sebagai ayahnya.” Suara Oma mulai serak.

Aku menggigit bibir. Mulai mengerti apa yang akan Oma ceritakan. Cukup Oma. Tak perlu dilanjutkan. Tidak perlu dikatakan. Semua detail itu tidak berguna. Aku sudah memutuskan untuk menikahi Sekar.

“Tidak. Biarkan Oma meneruskan semua cerita ini.” Oma menyeka pipi keriputnya, “Biar semuanya lengkap. Biar orang tua ini tidak menyimpan rahasia berkepanjangan. Subuh itu Oma bilang pada Rosie tentang perasaan kau. Karena Oma tidak pernah melihat Rosie menatapmu dengan tatapan itu, maka Oma pikir tidak akan ada masalah besar dengan mengatakannya. Dengan melihat Rosie hanya terkejut, kemudian tetap meneruskan pernikahannya dengan Nathan, maka semua selesai. Jelas sekali kau tidak akan pernah punya kesempatan.” Oma diam sejenak, berusaha mengendalikan perasaannya.

Aku mendongak menatap langit-langit ruangan.

“Berjanjilah Tegar, apapun yang kau dengar malam ini, kau akan tetap kembali ke Jakarta. Karena kau menitipkan kesempatanmu pada guratan takdir, maka setelah kau mendengar sepotong kejadian masa lalu itu kau juga tetap akan menitipkan kesempatan itu pada guratan takdir. Jika mawar itu akhirnya tumbuh ditegarnya karang, maka biarlah kuasa Tuhan yang membuktikannya.”

Aku menggigit bibir. Apa yang sebenarnya hendak Oma katakan?

“Subuh itu ketika orang tua ini bilang kepada Rosie. Ya Tuhan, aku sungguh tidak menyangka apa yang akan terjadi. Rosie menangis. Gadis yang malang. Dia tidak pernah mengerti apa perasaannya selama ini kepada kau. Rosie ingin membatalkan pernikahan itu. Aku ingat sekali bagaimana wajahnya. Tidak. Rosie belum sempurna bisa mendefenisikan perasaan itu. Belum sempurna mengerti. Dia masih terpesona kepada Nathan. Dia ingin membatalkan pernikahan itu karena merasa amat bersalah padamu.”

“Dan Nathan juga melakukan hal yang sama. Dia juga ingin membatalkan pernikahan itu. Pemuda yang baik. Tapi apa kataku tadi, kalian benar-benar tidak pernah diguratkan bersama. Malam itu aku baru menyadarinya. Kau sempurna menghilang lima tahun. Tidak tahu rimbanya. Awalnya aku pikir itu keputusan terbaik, tapi dengan melihat Rosie menangis.” Oma mengusap wajahnya. Matanya redup.

“Pernikahan itu berlangsung setelah enam bulan ditunda. Apakah Rosie mencintai Nathan?rasa kekaguman itu tentu saja cinta. Dengan pengertian yang dan pemahaman berbeda. Tapi seiring waktu, Rosie mulai mendefinisikan banyak hal. Kepergian kau. Maka perasaan itu mulai tumbuh. Subur sekali. Dan betapa tidak beruntungnya, kau kembali Tegar. Kau menelponku. Seharusnya kau tidak pernah melakukan itu. Rosie menemukan catatan alamat apartemen itu. Dia memaksa Nathan berangkat ke Jakarta saat itu juga.”

“Lima tahun berlalu. Kau sedikit banyak sudah berdamai. Kabar baiknya, ada anak-anak, yang amat membanggakan. Anak-anak yang menjadi jembatan baru hubungan kalian. Aku tahu kau tidak mengharapkan Rosie lagi. Kau juga akan menikah dengan Sekar.... Aku tahu meskipun Rosie sudah bisa mendefenisikan perasaan itu di hatinya, dia tidak mungkin mengharapkan masa lalu itu kembali. Kalian tidak akan pernah punya kesempatan.”

“Tapi gurat takdir kalian berdua kejam sekali. Kejadian di Jimbaran membuat semuanya berubah. Nathan pergi. Anak-anak kehilangan ayahnya. Dan kau, kau yang selalu baik dengan keluarga ini memutuskan kembali. Kau mengasuh anak-anak dengan cinta yang lebih besar dibandingkan yang bisa diberikan seorang Ayah kepada mereka. Kau sungguh Paman yang hebat, Tegar. Meski aku tidak selalu setuju dengan cara kau mendidik mereka, mengajari mereka ngebut misalnya.” Oma tertawa getir.

“Dua tahun kau di sini, apa yang aku cemaskan itu terjadi.... Kau terjebak. Kau memang tidak pernah mau mengakuinya, tapi dengan kembali ke Gili Trawangan kau membiarkan semua masa lalu itu pulang. Kau boleh bersikukuh tidak mengharapkan Rosie lagi. Dan mungkin itu benar, tapi kau tidak bisa mencegah apa yang terjadi sebaliknya di Rosie. Apa yang berkembang subur di hati Rosie.”

“Apa maksud Oma?” Aku memotong kalimat Oma.

“Enam bulan terakhir.... Saat kau mengatakan kalimat itu di shelter, Anggrek yang melaporkannya padaku. Saat itu sempurna sudah kau mencungkil perasaan masa lalu itu di hati Rosie. Aku sungguh keliru, enam bulan terakhir, semuanya tidak terkendali lagi.”

“Apa maksud Oma?” Aku mendesis kencang.

“Tidak. Kau sudah berjanji ke Sekar untuk menikahinya.”

“Apa maksud Oma?” Aku menyentuh lengan Oma.

Oma manatapku nanar. Dan sekejap sudut mataku menangkap seseorang ikut mendengar pembicaraan di ruang depan resor.

Rosie, Rosie yang sejak tadi tanpa aku sadari sudah berdiri di anak tanga paling atas tidak kuasa lagi menahan kakinya yang bergetar. Dia terjatuh. Oma menoleh. Rosie menyeka ujung matanya. Tertatih berdiri, kesakitan. Aku menelan ludah matap wajah menangis itu. Apa maksud semua ini? apa maksudnya?

Berlari.... Rosie tiba-tiba berlari meninggalkan ruangan.

Aku terkesiap. Menatap kembali menatap wajah Oma.

Oma berseru lirih, “Rosie mencintaimu, Tegar. Rosie selalu mencintai kau. Sejak kecil. Masalahnya, cinta kau yang terlalu besar tidak pernah memberikannya kesempatan untuk mengerti. Tetapi dia selalu dan akan selalu mencintaimu.”

Aku menggigit bibir. Ya Tuhan, semua ini benar-benar lelucon.

: Dari buku berjudul 'Sunset & Rosie' karangan Tere Liye, Bab.20 dengan judul yang sama, Oma Tak Perlu Mengatakannya, hlm. 407-415

2 komentar:

  1. Balasan
    1. hems. Entah mengapa typo selalu memunculkan wujudnya ketika tulisan sudah dibagikan-.- tapi tenang, ku selalu bertanggung jawab untuk mengoreksi ulangB)
      Terimakasih sudah berkunjung:D

      Hapus