Pernah mereka berdua sedang menunggu bus kota di halte, gerimis turun.
"Kamu suka hujan, Lail?" Maryam tiba-tiba bertanya, mengusir rasa bosan karena bus datang terlambat, jadwalnya kacau karena sebagian kota tertutup salju, sebagian lagi malah turun hujan.
Lail mengangguk. Dia selalu suka hujan.
"Apa setiap kejadian penting dalam hidupmu terjadi saat hujan?"
Lail mengangguk, belum mengerti arah percakapan.
"Kalau begitu, itu kabar buruk bagimu, Lail."
Kabar buruk? Lail menatap wajah jerawatan Maryam yang terlihat mulai menyebalkan.
"Iya, kabar buruk. Jangan pernah jatuh cinta disaat hujan, Lail. Karena ketika besok lusa kamu patah hati, setiap kali hujan turun, kamu akan terkenang dengan kejadian menyakitkan itu. Masuk akal bukan?"
Lail menelan ludah. Maryam sedang menyindirnya.
"Nah, bukankah kamu jatuh cinta pada Soke Bahtera saat gerimis? Waktu-waktu terbaikmu bersamanya juga saat hujan, kan? Kabar buruk bagimu jika jika Soke Bahtera ternyata mencintai Claudia. Aku tidak bisa membayangkan betapa sakitnya kamu ketika hujan turun, mengenang semuanya." Maryam menyengir lebar, sama sekali tidak merasa berdosa.
Sebagai pelampiasan rasa kesalnya mendengar sindiran Maryam, Lail menyiramnya dengan air tempias dari atap halte.
"Eh, Lail. Aku hanya bergurau." Maryam lompat menghindar, tertawa.
Lail tetap mengejarnya, menjadi tontonan penumpang lain di halte.
Tidak hanya sekali itu Maryam mengganggu Lail. Bahkan saat di kamar asrama, saat sedang tekun menyelesaikan tuga mata kuliah.
"Lail, kamu tahu mengapa kita mengenang banyak hal saat hujan turun?" Maryam tiba-tiba menceletuk bertanya.
Lail menoleh, menggeleng.
"Karena kenangan sama seperti hujan. Ketika dia datang, kita tidak bisa menghentikannya. Bagaimana kita akan menghentikan tetes air yang turun dari langit? Hanya bisa ditunggu, hingga selesai dengan sendirinya," Maryam berkata seolah sedang serius. "Masuk akal, bukan?"
Lail mengangguk. Itu masuk akal.
"Nah, itulah kenapa kamu selalu suka hujan selama ini. Aku sekarang paham. Karena setiap kali menatap hujan, kamu bisa mengenang banyak hal indah bersama Soke Bahtera. Kebersamaan kalian. Naik sepeda merah. Masuk akal lagi, bukan?"
Lail berteriak marah, menimpuk Maryam dengan bantal.
Maryam bergegas memasang tameng dengan tangannya.
***
"Bagaimana sekolah kalian?" Ibu Esok bertanya. Dia sedang memeriksa adonan Lail. Satu jam di toko kue, mereka bertiga sudah asyik membuat dua kue sekaligus.
"Lancar, Bu."
"Bagus sekali. Bukankah kalian hampir selesai?"
"Baru tingkat dua, Bu. Masih setahun lagi."
"Kamu sudah mendengar kabar baik, Lail?" Ibu Esok teringat sesuatu.
"Kabar baik apa?"
"Esok diwisuda tiga bulan lagi."
Mendengar nama Esok, Maryam langsung merapat lebih dekat.
Lail menggeleng dia belum mendengar kabar itu.
"Ibu juga baru tahu tadi malam. Esok menelpon. Kamu tidak ditelepon, Lail?"
Lail menelan ludah. dia tidak diberi tahu.
Maryam bergumam, "Bagaimana mereka akan saling telepon..."
Lail segera menyikutnya.
"Anak itu setiap kali menelepon Ibu, selalu menanyakan kabarmu, Lail. Tapi entah kenapa dia tidak bertanya langsung, meneleponmu. Apa susahnya dia melakukannya." Ibu Esok mengangkat bahu tidak paham. Kursi rodanya bergerak. "Adonanmu sudah siap, Maryam?
Maryam buru-buru kembali ke adonannya.
"Ini masih mentah, Maryam." Ibuk Esok mencicipi adonan.
Mereka kembali asyik membuat kue.
Pukul empat sore, Lail dan Maryam meninggalkan toko kue,.
Lail sudah menduga, Maryam akan nyinyir diatas bus kota.
"Kamu tahu, Lail, tidak ada kabar adalah kabar, yaitu kabar tidak ada kabar. Tidak ada kepastian juga adalah kepastian, yaitu kepastian tidak ada kepastian". Maryam yang duduk disebelahnya tertawa.
Lail menatap sebal, beranjak pindah bangku. Maryma sedang menyindirnya.
"Hidup ini juga memang tentang menunggu, Lail. Menunggu kita untuk menyadari: kapan kita akan berhenti menunggu."
Maryam tidak berhenti, dia pindah kesebalah bangku Lail.
"Kamu bisa diam tidak?" Lail melotot.
Maryam mengangkat bahu. Dia hanya mengutip kalimat-kalimat indah dari buku yang pernah dia baca. Dia tidak menyebut nama Soke Bahtera. Kenapa Lail keberatan?
Orang kuat itu bukan karena dia memang kuat, melainkan karena dia bisa lapang melepaskan..."
Lail melompat, tangannya berusaha menutup mulut Maryam, menyuruhnya diam. Maryam tertawa, menghindar, dua teman sekamar itu jadi bertengkar diatas bus, bergulat di atas bangku.
: Dari buku berjudul 'Hujan' karangan Tere Liye, dikutip pada hlm. 200-202 dan hlm. 222-228
Tidak ada komentar:
Posting Komentar