Azab dan Sengsara

"Anggiku Mariamin yang amat kucinta !

Sebelum kakanda menceritakan sebabnya kakanda berkirim surat ini, lebih dahulu kakanda meminta doa kepada Allah, supaya Ia memberi adinda kekuatan akan menahan kabar yang akan kuberikan ini kepada adinda.

Riam, berat yang kupikul, ngeri perasaanku sampai pada waktu menulis surat ini. Hatiku remuk-redam.

Engkau pun tentu demikian. Sebab itu kumpulkanlah tenagamu, pikul lah bebanmu dengan hati yang sabar sebagai aku.

Anggi Riam, kekasihku tiada berkurang akan dikau. Percayalah, engkau tak kulupakan dari dahulu sampai sekarang, ya, sehingga matiku. Aku pun percaya, adinda kasih juga akan kakanda, sebab itu lebih dahulu aku minta ampun, dan keampunan itu harap aku peroleh, sebab Riam kasih kepada kakanda anak yang terbuang di rantau ini.

 

 Sekarang sampailah tulisanku ini kepada kabar yang meremukkan hatimu. Ayah kita sudah datang ke Medan membawa anak yang lain, dan kawan sehidupku.


Riam tahu benar, bukanlah dia yang kuminta, tetapi adindalah. Akan tetapi sudah jauh terlanjur, sehingga tak dapat diulangi lagi. Dengan nama Allah kakanda bersumpah, bahwa kakanda tak bersalah, adinda pun tidak. Ya, hanya ini sajalah yang kakanda katakan: Sekaliannya itu terjadi dengan takdir Allah Yang Mahakuasa. Oleh sebab itu kepada Dia-lah kita serahkan penanggungan kita yang sedih ini. Allah yang kasih akan hambanya, Dialah yang dapat membuat hal ini berkesudahan yang baik, baik kepada kakanda, baik kepada adinda.

Dan sekarang kita lupakanlah sekalian angan-angan dan janji kita yang dahulu itu. Ya, apa boleh buat, sekaliannya telah hanyut ke laut kedukaan.

Kalau adinda ada semupakat, inilah kita janjikan, yakni kasih dan cinta yang bertahun-tahun itu kita biarkan hidup dalam kalbu kita berdua.

Anggi Riam, buah hatiku, percayalah bahwa kakanda takkan melupakan adinda, selama ada hayat dikandung badan, Orang lain, istriku yang sekarang pun, tiadalah dapat kukasihi dengan sepenuh-penuh hatiku, karena ruangan kalbuku telah penuh olehmu.

Akan penutup suratku ini, kakanda memberi pengakuan kepada adinda, yakni pengakuan yang keluar dari fuad zakiyat, bahwa surat ini kusurat dengan perkataan yang terbit dari piala keikhlasan hatiku. Dan sebagai permintaan yang penghabisan, tetapi ini tidak kuharapkan, kakanda ingin sekali menerima surat balasan daripada adinda, yakni surat keampunan, supaya ombak was-was yang berpalu-paluan di atas karang wasangka hati kakanda itu, agak teduh sedikit rasanya.

Selamat..., selamatlah engkau Riam. Tuhan memberkati jiwamu!"

Salam takzim daripada kakanda yang gundah gulana,
Aminu'ddin

***
Yang terhormat
Kakanda Aminu'ddin!

Surat kakanda itu sudah adinda terima. Ya, apa boleh buat, sudah demikian takdir Tuhan berlaku atas hambanya. Semuanya itu takkan kusesalkan kepada kakanda.

Ya, apa disesal kepada puan,
puan suasa tempaan Bantan.
Apa disesal kepada tuan,
nasibku itu pendapatan badan.

Dan tentang angan-angan dan cita-cita kita yang dahulu itu, sebenarnya lah perkataan kakanda itu, lebih eloklah kita melupakan dia daripada hati kita. Oleh sebab itu baiklah kita buat sementara jangan berkirim-kiriman surat, agar supaya luka hati kita jangan terantuk-antuk. Maklumlah kakanda Aminu'ddin, bagaimana penderitaan adinda ini. Ya, perempuan itu mempunyai perasaan yang lebih halus, dan luka hatinya itu tiada mudah sembuh, sebagai laki-laki. Oleh sebab itu baiklah kita membiarkan, yang sudah tinggal sudah, janganlah kita mengulang-ulangi dia.

Permintaanmu itu, Aminu'ddin, kukabulkan dengan segala suci hati. Lagi pula seharusnyalah kita bermaaf-maafan. Tetapi sungguhpun perhubungan kita sudah putus, adinda ini harap juga, supaya kita sebagai orang yang bersaudara.

Ya... lebih dari itu tak mungkin lagi. Sehingga ini dulu surat dariku ini, surat yang terbit daripada hati yang putih.

Salam waltakrim daripada adikmu,
Mariamin

: Dari buku berjudul 'Azab dan Sengsara' karangan Merari Siregar, dikutip pada hlm. 137 dan hlm. 143

Tidak ada komentar:

Posting Komentar