Tadi malam, di kapal, sebelum beranjak tidur aku cerita soal alamat Mei pada Pak Tua. Apa kata si bijak itu? Dia hanya melambaikan tangan. ‘’Cinta selalu menemukan jalan, Borno. Ada saja kebetulan, nasib takdir, atau apalah sebutannya. Tapi sayangnya orang-orang yang mengaku sedang dirundung cinta justru sebaliknya, selalu memaksakan jalan cerita, khawatir, cemas, serta berbagai perangai norak lainnya. Tidak usahlah kau gulana, wajah kusut. Jika berjodoh, Tuhan sendiri yang akan memberikan jalan baiknya. Kebetulan yang menakjubkan. Kalau sampai pulang ke Pontianak kau tidak bertemu gadis itu, berarti bukan jodoh. Sederhana bukan?‘’
Aku mendengus, apanya yang sederhana.
***
Pak Tua tersenyum. ‘’Maka dari itu saatnya engkau mundur teratur, Borno. Cinta tidak pernah bisa dipaksa, bukan?‘’
Aku mengeluh tertahan, saran Pak Tua menyakitkan.
Pak Tua menatap wajah kusut ku. ‘’Borno, cinta hanyalah segumpal perasaan dalam hati. Sama halnya dengan gumpal perasaan senang, gembira, sedih, sama dengan kau suka makan gulai kepala ikan, suka mesin. Bedanya, kita selama ini terbiasa mengistimewakan gumpal perasaan yang disebut cinta. Kita beri dia porsi lebih penting, kita besarkan terus menggumpal membesar. Coba saja kaucueki, kaulupakan, maka gumpal cinta itu juga dengan cepat layu seperti kau bosan makan gulai kepala ikan.
‘’Mei terus menolak menjelaskan. Dia terus menolak. Bahkan aku cemas dia malah memutuskan pergi dari sini. Itu berarti sudah saatnya kau memulai kesempatan baru. Percayalah, jika Mei memang cinta sejati kau, mau semenyakitkan apa pun, mau seberapa sulit liku yang harus kalian lalui, dia tetap akan bersama kau kelak, suatu saat nanti. Langit selalu punya skenario terbaik. Saat itu belum terjadi, bersabarlah. Isi hari-hari dengan kesempatan baru. Lanjutkan hidup dengan segenap perasaan riang.‘’
Aku terdiam...
: Dari buku berjudul 'Aku, Kau dan Sepucuk Angpau Merah' karangan Tere Liye, dikutip pada hlm. 194 dan hlm. 249-430
Tidak ada komentar:
Posting Komentar