Negeri Para Bedebah

"Tetapi tadi malam, saat orang kepercayaan Om Liem menjemputku di hotel, pukul dua dini hari, di dalam mobil Ram menyebutkan nama petinggi kepolisian dan pejabat kejaksaan yang menyidik kasus Bank Semesta. Aku mengenali nama itu. Nama kedua bedebah itu. Kau pernah bertanya kepadaku, apakah aku anak muda yang pintar, kaya, punya kekuasaan dengan kepribadian ganda? Penuh paradoks? Kau keliru, Julia. Aku adalah anak muda yang dibakar dendam masa lalu. Jiwaku utuh. Seperti berlian yang tidak bisa dipecahkan. Aku selalu menunggu kesempatan ini.

"Apakah hidup ini adil? Papa-Mama mati terbakar. Dua bedebah itu menjadi orang penting di negeri ini. Satu menjadi bintang tiga kepolisian, hanya soal waktu dia bisa jadi kepala polisi. Satunya lagi jaksa paling penting dan berpengaruh di korpsnya, hanya soal waktu menjadi jaksa agung. Aku kembali, Julia. Sejak tadi malam aku memutuskan kembali ke keluarga ini. Aku akan membalas setiap butir debu jasad Papa-Mama. Beri aku waktu dua hari, kau bisa menuliskan semuanya. Aku punya rencana. Aku bukan lagi anak kecil sepuluh tahun yang berlari-lari mengantar susu. Akulah bedebah paling besar dalam cerita ini. Jadi, apakah kau mau membantuku atau tidak terserah kau."

****
Aku meraih telepon genggam, teringat sesuatu, menelepon Julia.

Suara Julia terdengar serak, dia sepertinya terbangun oleh teleponku.

"Kau tidur jam berapa semalam?" Aku basa-basi bertanya.

Julia tertawa kecil menguap. "Kau tahu, Thom, terakhir kali pertanyaan ini ku dengar, itu berasal dari pacarku dua tahun lalu. Sebulan setelah itu kami berpisah."

Aku ikut tertawa, menatap permukaan laut yang beriak pelan, mengilat oleh cahaya matahari pagi, melanjutkan basa-basi percakapan. "Apa yang terjadi? Dia selingkuh?"

"Tidak, dia tipikal lelaki yang setia. Aku yang bosan, karena setelah itu dia seperti mendapat inspirasi gila, memutuskan setiap pagi meneleponku, bertanya, 'Kau tidur jam berapa semalam, honey? Mimpi indah?' Merusak hidupku dengan menjadi jam beker." Kami berdua tertawa.

"Kau sudah mendapat jadwal audiensi dengan menteri, Julia?" Aku memotong tawa.

Julia terdengar menggeliat, menggerutu. "Tentu saja."

"Jam berapa?"

"Astaga, Thom, maksudku, tentu saja kau tidak seperti pacarku itu. Aku tahu kau meneleponku hanya untuk memastikan jadwal yang kau minta, tidak lebih, tidak kurang. Sejak dari London aku sudah tahu, jelas kau bukan lelaki yang romantis. Kalaupun ada jejak romantisme dalam potongan yang amat kecil dikepala-mu, segera kau membuangnya jauh-jauh."

"Fokus, Julia. Jam berapa?" Aku memotong kalimatnya.

"Pukul sebelas nanti siang, Sir. Dikantornya. Puas?" Julia berseru.

Aku tertawa. "Terima kasih, Julia. Dan satu lagi sebelum telepon ini kututup, kau jelas keliru. Bahkan kubilang di atas pesawat penerbangan dari London, jika kau tertarik tentangku, kita bisa diskusikan hal itu di lain kesempatan. Mungkin sambil makan malam yang nyaman."

Julia mengeluarkan suara puh pelan.

Aku masih tertawa sambil mengucap salam, memutus percakapan.

: Dari buku berjudul 'Negeri Para Bedebah' karangan Tere Liye, dikutip pada hlm. 118-119 dan hlm. 206-207

Tidak ada komentar:

Posting Komentar